Menjaring Rezeki, Meneruskan Tradisi Nelayan Tajum

Menjaring Rezeki, Meneruskan Tradisi Nelayan Tajum

Jemari Darso terlihat lincah memegang senur-senur jala. Satu demi satu benang dirangkainya menjadi sebuah jaring. Tak cukup sehari jaring berukuran 3 meter itu jadi. Tapi butuh sekitar sebulan.”bahkan lebih karena pekerjaan ini cukup rumit,” jelasnya.

 

Namun ayah umur 50 tahun itu harus pasrah dengan keadaannya saat sekarang. kemahiraannya menenun jaring telah menurun. Apalagi kornea matanya telah kelabu dan harus disambung pula dengan kaca mata tebal.

 

“dulu jaring buatan saya jadi buruan nelayan ikan sungai Tajum, dan dari daerah-daerah lain bahkan bisa terjual sampai ke Ciamis Tapi sekarang tak lagi, apalagi sekarang ini sudah banyak yang beralih mencari emas,” kenang ayah lima anak itu, Rabu (26/3).

 

Pekerjaan membuat jaringpun tak lagi dapat diandalkan sebagai penyambung hidup, karena minat pembeli jaring terus menurun. Pekerjaan menjadi nelayan sungai kini tak lagi ditekuni karena dari segi penghasilan tak menjanjikan. Belum lagi kondisi sungai yg tercemar dan kotor. Akibatnya ikanpun banyak yg mati.

 

“Menjaring ikan sekarang ini hanya sekedar hobi saja. Kalau yang mau menjadi nelayan ikan sungai ya itu cuma sampingan saja,” ujar Kadus III Warsono.

 

Satu buah jala dijual Darso antara Rp.450 ribu hingga Rp.800 ribu tergantung dimana jala tersebut digunakan, ada yang di gunakan di sungai yang berbatu, juga ada yang di gunakan di sungai yang berlumpur,ukuran senur-senurpun beda. Jala Paling murah dinilai Rp.450 ribu dengan panjang 3 m. Dan harga Rp.800 ribu berukuran 5 m.

 

Demi sesuap nasi, biarpun jarang yang beli, Bapak yang baru memiliki satu cucu ini masih terus bersemangat untuk menenun senur-senur jala, setiap hari Darso selalu memamerkan jala yang sudah di buatnya,”Tiap pagi saya selalu menaruh jala di depan rumah, eh..syukur-syukur ada yang mau beli,” harap Darso warga RT 04 RW 10 Grumbul Kalibeber.

Related Posts

Komentar