Napeni Sebagai Tambahan Kebutuhan Keluarga
Darmakradenan_ Warga masyarakat Darmakradenan masih menggunakan cara tradisional untuk memisahkan padi yang berisi (gabah) dengan sampah atau padi yang tidak berisi (merang).
Yaitu proses dengan tampah yang digoyang-goyangkan memutar, lalu padi yang tak berisi akan berkumpul diposisi paling atas, setelah itu, tampah kembali digerakan ke atas dan kebawah sehingga seperti terbang lalu ditangkap kembali oleh tampah itu tadi. Proses ini biasa dilakukan usai panen sebelum dikeringkan.
Seperti yang dilakukan warga Grumbul Kesal selain sebagai nelayan, warga yang berada di sebelah timur Sungai Tajum itu banyak yang kesehariannya sebagai buruh tani, atau buruh perkebunan, sedangkan sebagai petani pemilik sawah khususnya terhitung sedikit apalagi sebagai pegawai negeri.
Salah satu pemilik sawah Ani Khafidoh (38) ketika usai panen dia selalu memberikan kerjaan kepada warga sekitar mulai dari mencangkul, merawat, dan memanen hasil tanaman padinya.” saya alhamdulillah memiliki sawah cukup luas dan kalau saya dengan suami menggarapnya ya waktunya ga ada, jadi saya memberikan pekerjaan kepada warga sekitar.” katanya, Sabtu (29/3).
Biarpun hasil panennya dihitung pas dengan modal saat ini, selain untuk biaya perawatan sawah, Ani harus mempekerjakan enam sampai tujuh orang usai panen,”lumayan untuk tambahan bagi mereka yang menganggur.” Lanjut ibu yang beranak kembar ini.
Bagi para pekerja buruh yang keseharinya sebagai ibu rumah tangga, mereka diberi ongkos untuk napeni rata-rata per setengah hari 25 sampai 30 ribu rupiah. Biarpun sedikit bagi mereka disamping sebagai kerja sampingan, mereka anggap sebagai wujud kegotong-royongan.
Dikatakannya Sariyah (40) “setiap hari warga sini khususnya ibu-ibu tidak ada kerjaan mas, dari pada jenuh di rumah lanjut dia, mending bekerja sebagai tukang napeni, lumayan buat tambahan biaya sekolah anak”. Ucap dia baru-baru ini.